- Back to Home »
- CATATANKU , INSPIRASI »
- Bukan Panglima dari Segala Burung Rajawali
Posted by : didisopiyan.blogspot.com
Selasa, 26 November 2013
Pada 31 Oktober 1948, di sebuah Minggu yang terik, sebuah tragedi mengenaskan terjadi. Musso, Sekertaris Jenderal PKI, ditembak mati di sebuah kamar mandi. Mayatnya lantas dibawa ke Ponorogo. Di sana, mayat yang disimbahi darah dan luka itu dipertontonkan. Dan…. dibakar!
Tragis sekali. Padahal, 2,5 bulan sebelumnya, tepatnya pada 13 Agustus 1948, Musso yang baru kembali ke Indonesia setelah 13 tahun lamanya hidup di Sovyet, berjumpa dengan Presiden Soekarno dalam suasana hangat dan akrab. Seorang wartawan yang menyaksikan perjumpaan keduanya memberi testimoni: “Bung Karno memeluk Musso dan Musso memeluk Soekarno. Mata berlinang. Kegembiraan ketika itu rupanya tidak dapat mereka keluarkan dengan kata-kata.”
Kala itu, Soekarno memuji Musso sebagai “jago pencak yang suka berkelahi, …yang kalau berpidato akan nyincing lengan bajunya”. Sebelum berpisah, seusai menyerahkan buku Sarinah sebagai kenang-kenangan, Soekarno berharap agar Musso sudi membantunya melancarkan revolusi nasional yang lajunya masih terpatah-patah. Mendengar permintaan itu, Musso membalas dengan jawaban singkat, lugas dan sungguh menggetarkan: “Itu memang kewajiban saya. Ik kom hier om orde te scheppen (Saya kemari untuk membereskannya).”
Sejarah ternyata tidak terhampar seperti yang dikehendaki aktor-aktornya. 2,5 bulan berselang, Soekarno dan Musso malah saling memunggungi, saling memaki. Ujung dari semua lakon itu sungguh pahit bagi Musso: ia menjadi “korban” kecamuk revolusi yang ia pernah sesumbar hendak membereskannya. Ternyata, Musso sendiri yang “dibereskan” oleh revolusi.
Sewaktu merefleksikan tragika Kudeta Madiun yang memakan banyak korban, termasuk Musso dan Amir Syarifuddin, Jenderal Simatupang dalam memoirnya Laporan dari Banaran, menulis: “Saya yakin bahwa do’a yang terakhir dari anak-anak itu (prajurit dan pemuda yang terlibat dalam Madiun Affair) semua adalah untuk kebahagian dan kebesaran tanah air yang satu juga.”
Saya jadi ingat Aristoteles. Nilai manusia, sebutnya, “bukanlah ditentukan oleh kehancuran hidup dan cita-citanya tetapi oleh perjuangannya mempertahankan harkat kemanusiaannya.” Itu pula yang jadi soal kenapa biografi Musso, dan semua yang ditelan dan dikalahkan proses sejarah secara kejam, menjadi menarik dan justru berharga untuk dipelajari.
Risalah Jalan Baru: Sebuah Jalan Terjal
Setelah 13 tahun hidup di Sovyet, Musso datang ke Indonesia persis ketika kelompok Sayap Kiri (PKI, Partai Buruh Indonesia dan Partai Sosialis) yang tergabung dalam FDR (Front Demokratik Rakyat) sedang dilanda krisis akibat Amir Syarifuddin meletakkan jabatan PM (Perdana Menteri).
Dalam situasi krisis itu, kedatangan Musso diharapkan bisa membangkitkan kembali Sayap Kiri/FDR dari krisis internal yang semakin akut. Dan dengan segera, tidak sampai seputaran siklus hujan-kemarau, Musso berhasil mengendalikan Sayap Kiri. Berkat reputasinya sebagai “alumni” pemberontakan PKI 1926 yang telah berjasa membangkitkan PKI dari “liang lahat sejarah” lewat aktivitas bawah tanahnya pada 1935, Musso sontak tampil di depan panggung dengan sungguh superior. Peran yang dilakoninya tak ubahnya seperti “Peniup seruling dalam cerita Grimms dan tokoh-tokoh lain (termasuk Amir Syarifuddin) mengikutinya sebagai anak-anak yang patuh”.
Dua minggu setelah kedatangannya, tepatnya pada 26-27 Agustus, Musso menghadiri Konfrensi PKI di Yogya. Di situ Musso mengajukan sebuah risalah yang kelak terkenal sebagai Jalan Baru Musso; Risalah ini tak bisa dilewati begitu saja oleh siapapun yang hendak mempelajari Indonesia pada masa-masa itu.
Di risalahnya itu, kegagalan gerakan buruh dianggap Musso sebagai akibat orang-orang komunis yang bergerak di bawah tanah tidak mendirikan sebuah partai komunis tunggal begitu proklamasi dikumandangkan, malah mendirikan Partai Sosialis, Partai Buruh dan PKI sendiri.
Selanjutnya, demikian Musso, tiga partai Marxis yang tergabung dalam kelompok Sayap Kiri terpaksa memasuki jalur politik reformis dan kompromis. Penandatanganan Perjanjian Renville yang dilakukan pemerintahan Sayap Kiri pimpinan Amir Syarifuddin membawa Indonesia ke tubir jurang kolonialisme jilid II.
Semua keruwetan itu berujung pada blunder mundurnya Amir Syarifuddin dari kursi PM. Seperti yang pernah digariskan Lenin, Musso menganggap menyerahkan begitu saja kekuasaan kepada kelompok reformis dan kompromis sebagai hal yang tak bisa ditolerir. Ini kian memperlemah posisi kelompok Sayap Kiri yang saat itu tergabung dalam wadah Front Demokratik Rakyat (FDR).
Untuk menuntaskanya, Musso menawarkan dua ide. Pertama, secepatnya mendirikan sebuah partai tunggal dengan nama Partai Komunis Indonesia (PKI) yang membawahi semua gerakan buruh. Semua anggota Partai Sosialis dan Partai Buruh harus secepatnya mendaftar menjadi anggota PKI.
Ide Musso tentang partai tunggal dengan nama PKI langsung terealisir dalam tempo yang sungguh singkat. Seperti dipaparkan George M.T. Kahin (1995: 349), tak sampai tiga hari, Partai Buruh Indonesia dan Partai Sosialis menyatakan bergabung (fusi) dengan PKI. Pada 1 September, komposisi kepengurusan PKI hasil fusi langsung terbentuk. Musso terpilih sebagai Sekertaris Jenderal PKI, sedang Amir Syarifuddin menjadi Sekretariat Pertahanan.
Jalan Baru tampaknya sudah on the track. Salah satu pokok terpenting Jalan Baru telah terealisir. Selanjutnya, tinggal memikirkan bagaimana cara membentuk Front Nasional yang mewadahi kekuatan-kekuatan utama di Indonesia yaitu PNI dan Masyumi.
Seperti yang akan kita lihat sebentar lagi, semua rencana itu ternyata membentur tembok. Gagal total. Musso akhirnya harus mengakui, dirinya ternyata belum sepenuhnya memahami peta politik Indonesia dan psiko-sosial rakyat Indonesia.
Di Ujung Integritas
Ide Musso selanjutnya adalah Front Nasional. Musso berkeyakinan, untuk menuntaskan revolusi, kelompok Sayap Kiri dan gerakan buruh tak bisa melakukannya sendirian, melainkan harus bekerjasama dengan partai dan organisasi lain yang progresif dan anti-imperialisme. Musso menyarankan agar PKI memimpin upaya pembentukan Front Nasional dengan cara meyakinkan partai-partai lain akan arti penting Front Nasional.
Ide Front Nasional ternyata mati prematur. Pada 10 September, Masyumi menolak ajakan PKI untuk mendirikan Front Nasional. Enam hari kemudian, PNI juga menampik ajakan PKI.
Kendati PNI dan Masyumi pernah melakukan oposisi kepada pemerintah (Syahrir), oposisi yang dilakukan keduanya berbeda jauh dengan konfrontasi. Dalam kamus Komunisme Sovyet, di mana Musso belasan tahun hidup di sana, oposisi memang persis dengan konfrontasi. Tapi Indonesia dan Sovyet tidak identik. Di sini, Musso gagal memetakan medan. Dan ini bukan kegagalannya yang terakhir.
Mengetahui ide Front Nasional tak bisa lagi diharapkan, Musso akhirnya memfokuskan diri untuk mengobarkan semangat massa lewat jargon-jargon komunis. Musso melakukan turne dengan menemui langsung massa lewat vergadering-vergadering (rapat umum) di daerah yang dianggap menjadi kantong gerakan Kiri: Surakarta, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu dan terakhir di Purwodadi.
Ternyata, Purwodadi menjadi tempat terakhir Musso melakukan vergadering. Hari itu juga, Musso dan segenap petinggi PKI menyadari bahwa prakarsa untuk melakukan revolusi telah terlepas dari tangan mereka. Ketika 18 September mereka tiba di Madiun, Musso dan elit PKI lainnya menemukan kenyataan bahwa organissi PKI setempat, dengan dipimpin unsur Pesindo (organ pemuda Partai Sosialis) dan Divisi IV TNI yang pro PKI, telah mela
ncarkan kudeta bersenjata dan merebut kekuasaan di Madiun. Musso dihadapkan pada fait accompli: dia ternyata tak sepenuhnya bisa mengendalikan keadaan.
Menghadapi kenyataan demikian, tak ada jalan lain bagi Musso selain menyatakan dukungannya pada Kudeta Madiun. Situasi ternyata menjadi kian sulit karena kali ini, pemerintah tak mau lagi berkompromi. Di corong radio, pada malam 19 September, Soekarno berpidato dan menuduh Musso telah mendirikan pemerintahan Sovyet. Soekarno lantas mengajukan dua pilihan: “Ikut Musso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia Merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta yang…. akan memimpin RI yang merdeka, tidak dijajah oleh negara apa pun.”
Musso tak kalah gertak. Di hari yang sama, juga di corong radio, ia mencaci Soekarno-Hatta sebagai “pengkhianat jahanam” dan “pedagang romusha”. Dangan lantang dan Musso berpidato: “Kami yakin rakyat akan berkata: Musso selalu mengabdi rakyat Indonesia.”
Siapapun yang pernah membaca naskah pidato Musso itu akan menangkap kesan betapa ia sungguh percaya diri. Tak ada kesan gentar, apalagi takut. Artikulasinya mantap. Tanpa metafor. Dan ofensif. Lewat pidatonya itu, Musso seakan hendak menunjukkan “kelasnya” sebagai seorang kawakan di medan revolusi.
Saya membayangkan, ketika berkoar di depan corong radio itu, Musso seakan sedang memfersonifikasi dirinya sebagai, pinjam sekuplet sajaknya Asrul Sani, “…panglima dari segala burung rajawali. Aku tutup segala kota, aku sebar segala api, Aku jadikan belantara jadi hutan mati.”
Tetapi, menjelang 20 September, Musso akhirnya menyadari dirinya bukanlah “panglima dari segala burung rajawali”. Pengaruhnya ternyata sama sekali tak ada apa-apanya dibanding pengaruh Soekarno-Hatta.
Dalam artikelnya yang dimuat keesokan harinya (21 September), tampak ada getar kekhawatiran. Nadanya ganti bercorak defensif. Musso berusaha keras mencari simpati rakyat dengan berkali-kali menyatakan bahwa kudeta Madiun bukan untuk mendirikan pemerintahan Sovyet. Padahal, pada pidato sehari sebelumnya di corong radio, Musso sama sekali tak menolak tuduhan Soekarno ihwal pembentukan pemerintahan Sovyet. Anehnya lagi, di artikel yang sama, Musso justru mengatakan jika kudeta Madiun berhasil, barulah akan didirikan pemerintahan Sovyet.
Paradoks. Musso berusaha mengendalikan keadaan, tetapi jelas dirinya sama sekali tak memiliki kendali atas situasi. Ia berada di persimpangan. Integritas dia sebagai seorang Stalinis garis keras yang tanpa kompromi benar-benar diuji. Hasilnya, gambaran sosok Musso sebagai seorang yang keras, pemberani, dan konsisten luruh perlahan, ketika ia menampilkan sikap dan pernyataan yang penuh kontradiksi.
Seruan Musso dan pemimpin PKI lain (termasuk Amir) yang telah diperlunak juga gagal melahirkan dukungan massa. Keyakinan Musso ihwal kekuatan Sovyet di Asia yang akan mendukung setiap gerakan anti-imperilisme ternyata jauh panggang dari api. Tak ada dukungan dari Sovyet yang datang. Pelan tapi pasti, pasukan pemerintah berhasil memulihkan keadaan. Pada 30 September 1948, Madiun akhirnya jatuh ke tangan pemerintah.
“Dibakar Percikan Api”
Mempelajari riwayat Musso, juga tokoh-tokoh utama Indonesia lainnya di masa-masa awal kemerdekaan, kita akan mafhum betapa sungguh sukar dan tak mudah menjadi pemimpin pada masa-masa transisi yang penuh kecamuk. Terlampau banyak aral dan tantangan yang membentang di hadapan. Dalam setiap kesempatan, mereka harus berpikir dan bertindak cepat tetapi tetap tidak boleh gegabah dan serampangan.
Terkadang mereka harus mengkompromikan visi dan garis ideologi yang dihayatinya dengan kenyataan di lapangan yang seringkali pahit dan menyesakkan. Termasuk jika harus saling berhadapan dengan orang yang dihormati, orang yang dulunya barangkali adalah sahabat dekat. Seperti ketika Soekarno berhadapan dengan Kartosuwiryo dan Musso yang pernah bersamanya sewaktu mondok di kediaman Cokroaminoto.
Dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (1997: 273), Soe Hok Gie menuliskan refleksinya atas peristiwa berdarah Kudeta Madiun: “Radikalisme ini seperti perlombaan mobil di lereng gunung yang makin lama makin menyempit. Pastilah suatu hari roda-roda yang berputar ini akan saling bersinggungan dan dari percikan api ini semuanya akan dibakar.”
Musso jelas merasakan dan mengalami semua dilema-dilema itu. Dan seperti yang telah kita lihat, Musso pada akhirnya berada di pihak yang “kalah”, dan benar-benar (dalam kata-kata Hok Gie) “dibakar oleh percikan api akibat gesekan roda radikalisme”.
Dengan perasaan tak menentu, Musso menyaksikan rencana dan program-programnya tanggal satu persatu. Perasaan tak menentu itu juga yang kiranya berkecamuk di benak Musso ketika pada 31 Oktober ia berjalan sendiri tanpa pengawal. Di hari Minggu yang mengenaskan itu, ia menemukan sebuah mobil yang ditumpangi pasukan TNI dan berniat menggunakannya. Ia berhasil melumpuhkan prajurit TNI yang berjaga di mobil sasaran.
Sial, mobil itu ternyata tak bisa distater. Prajurit TNI malah berhasil menguasai keadaan dan balik menodong Musso. Tapi Musso tak bergeming. Dengan keberanian yang penuh, Musso berteriak lantang: “Engkau tahu siapa saya? Saya Musso. Engkau baru kemarin jadi prajurit dan berani meminta saya menyerah pada engkau. Lebih baik mati daripada menyerah, walau bagaimana saya tetap merah putih.”
Prajurit TNI itu kalah wibawa dan malah melarikan diri ke desa terdekat. Tapi pasukan TNI pimpinan Kapt. Sumadi keburu datang. Musso lantas bersembunyi di sebuah kamar mandi. Ia menolak menyerah. Baku tembak tak terhindarkan. Akhirnya Musso tertembak mati. Mayatnya di bawa ke Ponorogo, dipertontonkan dan kemudian dibakar.
Kita tidak akan tahu apa yang ada di kepala Musso saat itu. Bisa jadi, yang dilakukan Musso di detik-detik terakhir hidupnya tadi adalah sebuah upaya untuk menjaga sisa-sisa integritasnya dengan kukuh (mungkin keras kepala). Ketika Musso mengumumkan bahwa Kudeta Madiun bukan untuk mendirikan negara model Sovyet, Musso sadar bahwa dirinya sedang berkompromi dengan kenyataan. Pendek kata, itu cuma sekadar taktik.
Tapi ketika taktik itu tak berbuah bagus, Musso menyadari dirinya telah kehilangan dua hal sekaligus: karir politik dan integritas sebagai seorang Stalinis garis keras. Maka, ketika Musso menampik untuk menyerah di kamar mandi yang telah terkepung, hal itu bisa dimengerti sebagai upaya terakhir untuk menyelamatkan sisa integritas yang sebelumnya telah memiuh entah ke mana.
Kita tahu, upaya terakhir itu membawanya pada sebuah kematian yang tragis dan mengenaskan. Tapi bagi Musso, aktivis yang bolak-balik menelan kepahitan dan kegagalan, upaya itu pasti bukanlah kesia-siaan.
Tragis sekali. Padahal, 2,5 bulan sebelumnya, tepatnya pada 13 Agustus 1948, Musso yang baru kembali ke Indonesia setelah 13 tahun lamanya hidup di Sovyet, berjumpa dengan Presiden Soekarno dalam suasana hangat dan akrab. Seorang wartawan yang menyaksikan perjumpaan keduanya memberi testimoni: “Bung Karno memeluk Musso dan Musso memeluk Soekarno. Mata berlinang. Kegembiraan ketika itu rupanya tidak dapat mereka keluarkan dengan kata-kata.”
Kala itu, Soekarno memuji Musso sebagai “jago pencak yang suka berkelahi, …yang kalau berpidato akan nyincing lengan bajunya”. Sebelum berpisah, seusai menyerahkan buku Sarinah sebagai kenang-kenangan, Soekarno berharap agar Musso sudi membantunya melancarkan revolusi nasional yang lajunya masih terpatah-patah. Mendengar permintaan itu, Musso membalas dengan jawaban singkat, lugas dan sungguh menggetarkan: “Itu memang kewajiban saya. Ik kom hier om orde te scheppen (Saya kemari untuk membereskannya).”
Sejarah ternyata tidak terhampar seperti yang dikehendaki aktor-aktornya. 2,5 bulan berselang, Soekarno dan Musso malah saling memunggungi, saling memaki. Ujung dari semua lakon itu sungguh pahit bagi Musso: ia menjadi “korban” kecamuk revolusi yang ia pernah sesumbar hendak membereskannya. Ternyata, Musso sendiri yang “dibereskan” oleh revolusi.
Sewaktu merefleksikan tragika Kudeta Madiun yang memakan banyak korban, termasuk Musso dan Amir Syarifuddin, Jenderal Simatupang dalam memoirnya Laporan dari Banaran, menulis: “Saya yakin bahwa do’a yang terakhir dari anak-anak itu (prajurit dan pemuda yang terlibat dalam Madiun Affair) semua adalah untuk kebahagian dan kebesaran tanah air yang satu juga.”
Saya jadi ingat Aristoteles. Nilai manusia, sebutnya, “bukanlah ditentukan oleh kehancuran hidup dan cita-citanya tetapi oleh perjuangannya mempertahankan harkat kemanusiaannya.” Itu pula yang jadi soal kenapa biografi Musso, dan semua yang ditelan dan dikalahkan proses sejarah secara kejam, menjadi menarik dan justru berharga untuk dipelajari.
Risalah Jalan Baru: Sebuah Jalan Terjal
Setelah 13 tahun hidup di Sovyet, Musso datang ke Indonesia persis ketika kelompok Sayap Kiri (PKI, Partai Buruh Indonesia dan Partai Sosialis) yang tergabung dalam FDR (Front Demokratik Rakyat) sedang dilanda krisis akibat Amir Syarifuddin meletakkan jabatan PM (Perdana Menteri).
Dalam situasi krisis itu, kedatangan Musso diharapkan bisa membangkitkan kembali Sayap Kiri/FDR dari krisis internal yang semakin akut. Dan dengan segera, tidak sampai seputaran siklus hujan-kemarau, Musso berhasil mengendalikan Sayap Kiri. Berkat reputasinya sebagai “alumni” pemberontakan PKI 1926 yang telah berjasa membangkitkan PKI dari “liang lahat sejarah” lewat aktivitas bawah tanahnya pada 1935, Musso sontak tampil di depan panggung dengan sungguh superior. Peran yang dilakoninya tak ubahnya seperti “Peniup seruling dalam cerita Grimms dan tokoh-tokoh lain (termasuk Amir Syarifuddin) mengikutinya sebagai anak-anak yang patuh”.
Dua minggu setelah kedatangannya, tepatnya pada 26-27 Agustus, Musso menghadiri Konfrensi PKI di Yogya. Di situ Musso mengajukan sebuah risalah yang kelak terkenal sebagai Jalan Baru Musso; Risalah ini tak bisa dilewati begitu saja oleh siapapun yang hendak mempelajari Indonesia pada masa-masa itu.
Di risalahnya itu, kegagalan gerakan buruh dianggap Musso sebagai akibat orang-orang komunis yang bergerak di bawah tanah tidak mendirikan sebuah partai komunis tunggal begitu proklamasi dikumandangkan, malah mendirikan Partai Sosialis, Partai Buruh dan PKI sendiri.
Selanjutnya, demikian Musso, tiga partai Marxis yang tergabung dalam kelompok Sayap Kiri terpaksa memasuki jalur politik reformis dan kompromis. Penandatanganan Perjanjian Renville yang dilakukan pemerintahan Sayap Kiri pimpinan Amir Syarifuddin membawa Indonesia ke tubir jurang kolonialisme jilid II.
Semua keruwetan itu berujung pada blunder mundurnya Amir Syarifuddin dari kursi PM. Seperti yang pernah digariskan Lenin, Musso menganggap menyerahkan begitu saja kekuasaan kepada kelompok reformis dan kompromis sebagai hal yang tak bisa ditolerir. Ini kian memperlemah posisi kelompok Sayap Kiri yang saat itu tergabung dalam wadah Front Demokratik Rakyat (FDR).
Untuk menuntaskanya, Musso menawarkan dua ide. Pertama, secepatnya mendirikan sebuah partai tunggal dengan nama Partai Komunis Indonesia (PKI) yang membawahi semua gerakan buruh. Semua anggota Partai Sosialis dan Partai Buruh harus secepatnya mendaftar menjadi anggota PKI.
Ide Musso tentang partai tunggal dengan nama PKI langsung terealisir dalam tempo yang sungguh singkat. Seperti dipaparkan George M.T. Kahin (1995: 349), tak sampai tiga hari, Partai Buruh Indonesia dan Partai Sosialis menyatakan bergabung (fusi) dengan PKI. Pada 1 September, komposisi kepengurusan PKI hasil fusi langsung terbentuk. Musso terpilih sebagai Sekertaris Jenderal PKI, sedang Amir Syarifuddin menjadi Sekretariat Pertahanan.
Jalan Baru tampaknya sudah on the track. Salah satu pokok terpenting Jalan Baru telah terealisir. Selanjutnya, tinggal memikirkan bagaimana cara membentuk Front Nasional yang mewadahi kekuatan-kekuatan utama di Indonesia yaitu PNI dan Masyumi.
Seperti yang akan kita lihat sebentar lagi, semua rencana itu ternyata membentur tembok. Gagal total. Musso akhirnya harus mengakui, dirinya ternyata belum sepenuhnya memahami peta politik Indonesia dan psiko-sosial rakyat Indonesia.
Di Ujung Integritas
Ide Musso selanjutnya adalah Front Nasional. Musso berkeyakinan, untuk menuntaskan revolusi, kelompok Sayap Kiri dan gerakan buruh tak bisa melakukannya sendirian, melainkan harus bekerjasama dengan partai dan organisasi lain yang progresif dan anti-imperialisme. Musso menyarankan agar PKI memimpin upaya pembentukan Front Nasional dengan cara meyakinkan partai-partai lain akan arti penting Front Nasional.
Ide Front Nasional ternyata mati prematur. Pada 10 September, Masyumi menolak ajakan PKI untuk mendirikan Front Nasional. Enam hari kemudian, PNI juga menampik ajakan PKI.
Kendati PNI dan Masyumi pernah melakukan oposisi kepada pemerintah (Syahrir), oposisi yang dilakukan keduanya berbeda jauh dengan konfrontasi. Dalam kamus Komunisme Sovyet, di mana Musso belasan tahun hidup di sana, oposisi memang persis dengan konfrontasi. Tapi Indonesia dan Sovyet tidak identik. Di sini, Musso gagal memetakan medan. Dan ini bukan kegagalannya yang terakhir.
Mengetahui ide Front Nasional tak bisa lagi diharapkan, Musso akhirnya memfokuskan diri untuk mengobarkan semangat massa lewat jargon-jargon komunis. Musso melakukan turne dengan menemui langsung massa lewat vergadering-vergadering (rapat umum) di daerah yang dianggap menjadi kantong gerakan Kiri: Surakarta, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu dan terakhir di Purwodadi.
Ternyata, Purwodadi menjadi tempat terakhir Musso melakukan vergadering. Hari itu juga, Musso dan segenap petinggi PKI menyadari bahwa prakarsa untuk melakukan revolusi telah terlepas dari tangan mereka. Ketika 18 September mereka tiba di Madiun, Musso dan elit PKI lainnya menemukan kenyataan bahwa organissi PKI setempat, dengan dipimpin unsur Pesindo (organ pemuda Partai Sosialis) dan Divisi IV TNI yang pro PKI, telah mela
ncarkan kudeta bersenjata dan merebut kekuasaan di Madiun. Musso dihadapkan pada fait accompli: dia ternyata tak sepenuhnya bisa mengendalikan keadaan.
Menghadapi kenyataan demikian, tak ada jalan lain bagi Musso selain menyatakan dukungannya pada Kudeta Madiun. Situasi ternyata menjadi kian sulit karena kali ini, pemerintah tak mau lagi berkompromi. Di corong radio, pada malam 19 September, Soekarno berpidato dan menuduh Musso telah mendirikan pemerintahan Sovyet. Soekarno lantas mengajukan dua pilihan: “Ikut Musso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia Merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta yang…. akan memimpin RI yang merdeka, tidak dijajah oleh negara apa pun.”
Musso tak kalah gertak. Di hari yang sama, juga di corong radio, ia mencaci Soekarno-Hatta sebagai “pengkhianat jahanam” dan “pedagang romusha”. Dangan lantang dan Musso berpidato: “Kami yakin rakyat akan berkata: Musso selalu mengabdi rakyat Indonesia.”
Siapapun yang pernah membaca naskah pidato Musso itu akan menangkap kesan betapa ia sungguh percaya diri. Tak ada kesan gentar, apalagi takut. Artikulasinya mantap. Tanpa metafor. Dan ofensif. Lewat pidatonya itu, Musso seakan hendak menunjukkan “kelasnya” sebagai seorang kawakan di medan revolusi.
Saya membayangkan, ketika berkoar di depan corong radio itu, Musso seakan sedang memfersonifikasi dirinya sebagai, pinjam sekuplet sajaknya Asrul Sani, “…panglima dari segala burung rajawali. Aku tutup segala kota, aku sebar segala api, Aku jadikan belantara jadi hutan mati.”
Tetapi, menjelang 20 September, Musso akhirnya menyadari dirinya bukanlah “panglima dari segala burung rajawali”. Pengaruhnya ternyata sama sekali tak ada apa-apanya dibanding pengaruh Soekarno-Hatta.
Dalam artikelnya yang dimuat keesokan harinya (21 September), tampak ada getar kekhawatiran. Nadanya ganti bercorak defensif. Musso berusaha keras mencari simpati rakyat dengan berkali-kali menyatakan bahwa kudeta Madiun bukan untuk mendirikan pemerintahan Sovyet. Padahal, pada pidato sehari sebelumnya di corong radio, Musso sama sekali tak menolak tuduhan Soekarno ihwal pembentukan pemerintahan Sovyet. Anehnya lagi, di artikel yang sama, Musso justru mengatakan jika kudeta Madiun berhasil, barulah akan didirikan pemerintahan Sovyet.
Paradoks. Musso berusaha mengendalikan keadaan, tetapi jelas dirinya sama sekali tak memiliki kendali atas situasi. Ia berada di persimpangan. Integritas dia sebagai seorang Stalinis garis keras yang tanpa kompromi benar-benar diuji. Hasilnya, gambaran sosok Musso sebagai seorang yang keras, pemberani, dan konsisten luruh perlahan, ketika ia menampilkan sikap dan pernyataan yang penuh kontradiksi.
Seruan Musso dan pemimpin PKI lain (termasuk Amir) yang telah diperlunak juga gagal melahirkan dukungan massa. Keyakinan Musso ihwal kekuatan Sovyet di Asia yang akan mendukung setiap gerakan anti-imperilisme ternyata jauh panggang dari api. Tak ada dukungan dari Sovyet yang datang. Pelan tapi pasti, pasukan pemerintah berhasil memulihkan keadaan. Pada 30 September 1948, Madiun akhirnya jatuh ke tangan pemerintah.
“Dibakar Percikan Api”
Mempelajari riwayat Musso, juga tokoh-tokoh utama Indonesia lainnya di masa-masa awal kemerdekaan, kita akan mafhum betapa sungguh sukar dan tak mudah menjadi pemimpin pada masa-masa transisi yang penuh kecamuk. Terlampau banyak aral dan tantangan yang membentang di hadapan. Dalam setiap kesempatan, mereka harus berpikir dan bertindak cepat tetapi tetap tidak boleh gegabah dan serampangan.
Terkadang mereka harus mengkompromikan visi dan garis ideologi yang dihayatinya dengan kenyataan di lapangan yang seringkali pahit dan menyesakkan. Termasuk jika harus saling berhadapan dengan orang yang dihormati, orang yang dulunya barangkali adalah sahabat dekat. Seperti ketika Soekarno berhadapan dengan Kartosuwiryo dan Musso yang pernah bersamanya sewaktu mondok di kediaman Cokroaminoto.
Dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (1997: 273), Soe Hok Gie menuliskan refleksinya atas peristiwa berdarah Kudeta Madiun: “Radikalisme ini seperti perlombaan mobil di lereng gunung yang makin lama makin menyempit. Pastilah suatu hari roda-roda yang berputar ini akan saling bersinggungan dan dari percikan api ini semuanya akan dibakar.”
Musso jelas merasakan dan mengalami semua dilema-dilema itu. Dan seperti yang telah kita lihat, Musso pada akhirnya berada di pihak yang “kalah”, dan benar-benar (dalam kata-kata Hok Gie) “dibakar oleh percikan api akibat gesekan roda radikalisme”.
Dengan perasaan tak menentu, Musso menyaksikan rencana dan program-programnya tanggal satu persatu. Perasaan tak menentu itu juga yang kiranya berkecamuk di benak Musso ketika pada 31 Oktober ia berjalan sendiri tanpa pengawal. Di hari Minggu yang mengenaskan itu, ia menemukan sebuah mobil yang ditumpangi pasukan TNI dan berniat menggunakannya. Ia berhasil melumpuhkan prajurit TNI yang berjaga di mobil sasaran.
Sial, mobil itu ternyata tak bisa distater. Prajurit TNI malah berhasil menguasai keadaan dan balik menodong Musso. Tapi Musso tak bergeming. Dengan keberanian yang penuh, Musso berteriak lantang: “Engkau tahu siapa saya? Saya Musso. Engkau baru kemarin jadi prajurit dan berani meminta saya menyerah pada engkau. Lebih baik mati daripada menyerah, walau bagaimana saya tetap merah putih.”
Prajurit TNI itu kalah wibawa dan malah melarikan diri ke desa terdekat. Tapi pasukan TNI pimpinan Kapt. Sumadi keburu datang. Musso lantas bersembunyi di sebuah kamar mandi. Ia menolak menyerah. Baku tembak tak terhindarkan. Akhirnya Musso tertembak mati. Mayatnya di bawa ke Ponorogo, dipertontonkan dan kemudian dibakar.
Kita tidak akan tahu apa yang ada di kepala Musso saat itu. Bisa jadi, yang dilakukan Musso di detik-detik terakhir hidupnya tadi adalah sebuah upaya untuk menjaga sisa-sisa integritasnya dengan kukuh (mungkin keras kepala). Ketika Musso mengumumkan bahwa Kudeta Madiun bukan untuk mendirikan negara model Sovyet, Musso sadar bahwa dirinya sedang berkompromi dengan kenyataan. Pendek kata, itu cuma sekadar taktik.
Tapi ketika taktik itu tak berbuah bagus, Musso menyadari dirinya telah kehilangan dua hal sekaligus: karir politik dan integritas sebagai seorang Stalinis garis keras. Maka, ketika Musso menampik untuk menyerah di kamar mandi yang telah terkepung, hal itu bisa dimengerti sebagai upaya terakhir untuk menyelamatkan sisa integritas yang sebelumnya telah memiuh entah ke mana.
Kita tahu, upaya terakhir itu membawanya pada sebuah kematian yang tragis dan mengenaskan. Tapi bagi Musso, aktivis yang bolak-balik menelan kepahitan dan kegagalan, upaya itu pasti bukanlah kesia-siaan.