Mahasiswa Sebagai Generasi Perubahan
Sedikit pandangan dari sudut yang berbeda. Orang bilang, mahasiswa adalah agen perubahan, atau mungkin lebih sering kita dengar “Agent of Change”.Setujukah..?
Saya sendiri sebagai seorang mahasiswa merasa ada yang janggal dengan predikat itu. Menurut saya pribadi, agen perubahan bukan hanya ada di pundak-pundak si mahasiswa, tetapi di setiap insan yang mengaku mencintai, ingin membela dan ingin membangun ibu pertiwi ini.
Mungkin “Agen Perubahan” yang dipercayakan kepada mahasiswa bukan hanya sebuah predikat semata, melainkan ada harapan besar yang tersimpan didalamnya. Harapan untuk perubahan negeri yang semakin “tak terarah” ini. iya, tak terarah. Ini terlihat dari konstitusi yang semakin “dijauhi” oleh para pengayom negeri.
Kembali pada persoalan mahasiswa sebagai agen perubahan, ± 104 tahun yang lalu Indonesia menjadikan salah satu tanggal, yaitu tanggal 20 di bulan Mei kemarin sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Bangkit, dalam konteks ini merupakan sebuah kata sederhana yang begitu diharapkan pada negeri bernama Indonesia ini. Sedangkan perubahan, merupakan pengharapan yang diletakkan pada pundak-pundak para muda-mudi Indonesia dengan ’title’ mahasiswa. Ada sinkronisasi rupanya disini.
Mahasiswa mungkin tak banyak menyadari bahwa mereka menjadi tumpuan ‘kebangkitan’ yang diharapkan negeri ini. Terbukti perubahan yang mereka ciptakan tak hanya memiliki satu sisi saja, positif. Ada sisi lain yang terlihat lebih banyak ‘menggoda’ mahasiswa untuk disinggahi. Berdasarkan tinjauan saya, mahasiswa lebih dikenal sebagai ‘penyuara’. Ya, penyuara isi-isi kepala mereka. saya pribadi sebagai mahasiswa memandang ini sebagai kewajaran selama yang disuarakan adalah pembelaan terhadap yang benar, mungkin ini sebuah sikap antisipatif terhadap ke’dzalim’an stadium lanjut. Namun masih saja ada oknum-oknum yang berlebihan dalam menyuarakan sikap antisipatif mereka. Antisipatif tak harus anarkis kan..? Saya sendiri sebagai seorang mahasiswa merasa resah dengan teori anarkisme yang dilambungkan atas nama mahasiswa. Mengapa harus anarkisme..?
Membaca tulisan diatas mungkin menimbulkan banyak tanya dalam benak Anda sebagai pembaca, terutama jika Anda mahasiswa. “Ya karena memang selama ini suara kami jarang didengar, atau bahkan tidak pernah, maka dari itu kami berbuat anarkis”. Itu mungkin satu klise alasan seorang mahasiswa menjawab pertanyaan saya diatas. Lalu bagaimana dengan realita..? bayangkan jika Anda pergi ke suatu tempat, dan akses yang Anda lalui untuk ke tempat tersebut terhalang oleh aksi unjuk rasa yang digelar oleh demonstran.
Tak lama, sebagian dari Anda mungkin berfikir,“mahasiswa mana tuh yang demo..?”. Disini terlihat bahwa demo/unjuk rasa identik dengan keberadaan mahasiswa di dalamnya. Inikah image yang diharapkan dari seorang agen perubahan…?
Lantas bagaimana..? tidak semua kok mahasiswa anarkis..? banyak juga mahasiswa yang memang ‘lurus-lurus saja’, membawa perubahan untuk negeri ini, jangan hanya dilihat negatifnya, coba lihat positifnya..
Kalimat seperti diatas mungkin juga serupa dengan apa yang ada di benak Anda, para pembaca. Memang benar, banyak mahasiswa yang telah sukses ‘memenuhi janjinya’ sebagai agen perubahan. Tak sedikit dari mereka yang telah memajukan roda perekonomian dengan inovasi-inovasi yang mereka hadirkan. Siapapun bangga atas prestasi tersebut. Namun, inilah sesungguhnya masalahnya. Mahasiswa-mahasiswa yang seperti ini layaknya mutiara yang tertimbun, dan makin tertimbun oleh gerusan modernisasi. Kemana mereka..?
Seperti yang saya katakan tadi, banyak yang tak menyadari bahwa mereka dipercayakan sebagai agen perubahan dan ‘katrol pembangkit’ negeri ini.
Jumlah mahasiswa yang “lurus-lurus saja” lebih sedikit, sehingga kurang terlihat jika dibandingkan dengan mereka -mahasiswa yang anarkis. Tugas kita adalah menjadi bagian dari yang sedikit itu, walaupun menjadi mahasiswa yang “lurus-lurus saja” tidaklah mudah.
Marilah kita mahasiswa – mahasiswi Indonesia, mari kita capai predikat “The Real Agent of Change”, perubahan ada di tangan kita para pemikir-pemikir muda. Kita tidak hanya membuat orang tua atau kerabat bangga, tapi semuanya. Ya, semuanya. Mari majukan negeri yang masih memiliki harapan untuk bangkit ini. betul, negeri ini masih bisa bangkit.
Mungkin ini hanya sekedar tulisan, yang bisa saja hanya sekedar “lewat” di mata dan pikiran pembaca. Ini mungkin hanya sebuah kontribusi kecil yang bisa saya sumbangkan melalui pemikiran saya, semoga kontribusi kecil ini bisa ikut menggerakkan nurani para mahasiswa/i untuk negeri yang sama-sama kita cintai ini.
Prof. Dr. J.E. Sahetapy, Seorang Penjaga Nurani Hukum
Demi kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka seumur hidup tak menikah
Tan Malaka memang bertolak belakang denganSoekarno dari berbagai hal. Tak hanya dari cara memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, soal kehidupan pribadi pun keduanya jauh berbeda.
Jika Soekarno terkenal memiliki banyak istri, hal sebaliknya justru terjadi pada Tan Malaka. Sang Patjar Merah Indonesia justru seumur hidupnya tak pernah menikah.
SK Trimurti, istri dari Sajoeti Melik, dalam buku 'Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia' Karya Harry A Poeze, menyebutkan alasan Tan Malaka tak menikah.
"Ia (Tan Malaka) tidak kawin karena perkawinan akan membelokannya dari perjuangan. Ia bersikap penuh hormat terhadap perempuan. Ia juga tak pernah berbicara tentang perempuan dalam makna seksual. Dari sudut ini ia seorang yang bersih," kata Sajoeti Melik yang menjalin hubungan baik saat Tan Malaka tinggal di rumah Soebardjo pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Meski tak pernah menikah, bukan berarti Tan Malaka tak pernah dekat dengan wanita. Paramitha 'Jo' Abdurrachman adalah salah satu wanita yang pernah dekat dengan pria kelahiran Suliki, Sumatera Barat, 1894 itu.
Paramitha berkenalan dengan Tan Malaka saat masih tinggal di rumah Soebardjo. Namun, setelah Tan Malaka tak lagi tinggal di rumah Soebardjo, Paramitha masih kerap bertemu dengannya. Paramitha memiliki rasa kasih dan cinta terhadap Tan Malaka. Ia kerap berbincang lama dan memberi perhatian lebih kepada Tan.
Peneliti sekaligus penulis buku Tan Malaka, Harry A Poeze mengatakan, dalam pelariannya di luar negeri, Tan Malaka sempat berhubungan khusus dengan sejumlah wanita. Namun, Tan Malaka sadar sebagai tokoh gerakan radikal yang diburu oleh dinas rahasia negara kapitalis seperti Amerika Serikat, Inggris dan Belanda, ia tak mungkin bisa menikah.
"Tan Malaka bilang saya orang gerakan radikal dan diburu selalu. Saya harus bisa meloloskan diri karena itu gak ada waktu untuk berkeluarga. Ini nasib seorang revolusioner," kata Poeze saat diskusi di kantor merdeka.com beberapa waktu lalu.
Menurutnya, saat itu muncul sebutan wanita yang dekat dengan Tan Malaka disebut sebagai kekasih Belanda, kekasih Rusia, kekasih Filipina dan sebagainya. "Tapi nama-namanya saya lupa," kata Poeze.
Dikutip dari 'Tan Malaka: Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah' Karya Masykur Arif Rahman, saat masih berusia 16 tahun Tan Malaka sempat ditawari dua tawaran yakni ditunangkan dengan gadis pilihan keluarga dan diberi gelar nama. Namun saat itu Tan Malaka menolak dijodohkan.
Berdasarkan penuturan teman-temannya, Tan Malaka kala itu tak mau dijodohkan karena telah jatuh cinta kepada satu-satunya siswi perempuan di sekolahnya, yakni Syarifah Nawawi. Namun cinta itu bertepuk sebelah tangan.
Syarifah akhirnya menikah dengan R.A.A. Wiranatakoesoema, Bupati Cianjur yang saat itu sudah memiliki lima orang anak. Hingga akhir hayatnya, Tan Malaka tak pernah menikah.
Mungkin itu nasib seorang revolusioner yang ingin berbuat bagi kepentingan orang banyak, harus rela mengorbankan kepentingannya, seperti yang pernah dikatakannya.
"Barang siapa yang menghendaki kemerdekaan buat umum, maka ia harus sedia dan ikhlas untuk menderita kehilangan kemerdekaan dirinya sendiri," kata Tan Malaka.
Sumber: merdeka.com
Ekspresi Diam belum tentu emas, Selalu mendengar bukan berarti tidak ingin didengar
“Diam belum tentu emas, Selalu mendengar tapi tidak pernah didengar”
Setujukah Anda jika menjadi pendiam itu tidak selamanya menyenangkan?. Jika anda setuju mungkin Artikel ini sangat perlu untuk anda baca. Anda akan memetik banyak pengalaman dan hikmah dibalik sebuah Ekspresi setiap orang jika anda menyadarinya. Bahkan Anda pun bisa belajar dari kegagalan orang lain. Semoga setelah membaca tulisan ini anda bisa menjadi orang lebih menghargai orang lain.
Pendiam belum tentu emas. Apakah kamu orang yang pendiam?. Lalu pendiam seperti apakah anda?.
Pertama, kata pepatah Diam adalah Emas mungkin itu benar jika anda memilih menjadi seorang pendengar, Mengingat jumlah telinga lebih banyak dari jumlah mulut. Dimana lebih banyak menggunakan kedua telinga jauh lebih bijak daripada terus berbicara dengan satu mulut. Dengan kata lain, pepatah ini tepat untuk anda yang cenderung tidak menyukai perdebatan disaat anda mengikuti sebuah diskusi di hadapan orang orang banyak. Anda di anggap hebat, karena lebih memilih diam daripada ikut berdebat dalam meladeni orang yang pandai berbicara di depan anda mengemukakan secara egois dalam menentukan‘pendapat dan ide siapa yang lebih baik’.
Heart Of Gold By - ethereal- forest 303 |
Original Quotes : Renungan singkat tentang Sikap diam.
Bayangkan, suatu hari anda dikecewakan oleh sahabat anda. Saat itu Anda sangat marah dan kesal sekali pada Sahabat anda. Saat itu Anda berharap sekali Sahabat Anda dapat mengerti bagaimana perasaan anda. Sayangnya, teman anda tidak kunjung menyadari kesalahannya. Hingga akhirnya Rasa marah, kecewa dan benci memendam begitu saja di hati anda. Dalam benak anda, saat itu anda ingin sekali mengekspresikan betapa kecewanya anda kepada sahabat Anda. Namun sayangnya, karena ‘rasa nggak enak sama temen’, akhirnya Anda pun memilih untuk diam. Hingga akhirnya rasa kecewa itu terus bersinambung dan akan meletus pada akhirnya ketika sampai puncaknya. Anda menjadi bom atom yang siap meledak. Hingga akhirnya di masa mendatang amarah itu pun tidak tertahankan lagi Bom Atom itu meledak dengan dahsyat, Setelah anda untuk kedua kalinya di kecewakan oleh sahabat anda, yang juga kembali mengulangi kesalahannya. Kesalahan yang bahkan sahabat anda sendiri tidak pernah menyadarinya, ia tidak tahu jika sikapnya selama ini telah membuat anda kecewa. Karena anda tidak pernah mengatakan letak kesalahnya.
Karena faktanya Meskipun banyak ide tidak semua orang bisa berbicara secara jelas, bersuara keras dan mudah dipahami. Yupz, Terkadang hanya karena lemah suara seseorang selalu saja di anggap pengekor untuk mereka yang pandai berbicara, meskipun terkadang ide yang dimiliki seorang pembicara belum tentu sebagus dan secemerlang orang pendiam yang selalu mendengar. Karena orang yang sulit berbicara cenderung mempersiapkan dan memikirkan ide idenya di dalam sikap diamnya.
Ketiga, Diam adalah keterbatasan seseorang untuk berekspresi. Ada kalanya orang pendiam sering sekali tidak diberikan kesempatan DAN Kebebasan Bereskpresi dengan pendapatnya. Sedangkan Eskpresi adalah suatu sikap yang ditunjukan seseorang untuk mengenalkan siapa dirinya yang apa adanya, berbicara tentang sikap, sikap bukan lah hanya pemikiran semata. Karena di dalam sebuah ungkapan ekspresi terkandung sebuah perasaan, ungkapan terpendam yang sulit ditunjukan kepada orang lain.
Kita semua tahu pada dasarnya setiap orang ingin dikenal oleh orang lain. Manusia juga ingin di dengar saat ia mempunyai gagasan. Percayalah tanpa berekspresi seseorang takkan pernah bisa menunjukan apa kekurangannya dan apa kelebihan terpendam yang ia punya. Akibatnya, Mungkin sifat mahluk hidup yang senang bersosial akan lenyap. Seperti halnya Ketika kita memutuskan untuk tidak ingin lagi bergabung dalam sebuah diskusi, karena anda tahu, sebelumnya anda tidak akan pernah diberi kesempatan untuk berpendapat. Padahal ide adalah hal penting yang wajib ada di dalam sebuah diskusi atau pun meeting.
“orang yang tidak pernah mengekpsresikan ungkapannya kepada orang lain, seumur hidupnya hanya mengenal siapa orang lain, dan jauh lebih mengerti apa yang lain rasakan orang lain. Jauh daripada ia mengenal dirinya sendiri “
“Diluar sana banyak orang yang hidup dalam keterbatasan serta hidup dalam kondisi yang kurang menyenangkan. Fatalnya, sebagian dari mereka banyak yang memilih berdiam tanpa melakukan apa pun”
Ya, benar. Ada kalanya kita harus berjuang untuk bisa di dengar. Jika seorang aktivis rela turun ke jalan sertga berpanas - panasan melakukan teatrikal dengan berbaring di atas aspal dan teriak - teriak sekeras mungkin menggunakan Toa hanya ingin agar suaranya bisa di dengar oleh pemerintah. Mengapa kita sebagai orang ‘pendiam’ tidak pernah berjuang memikirkan cara agar bisa di dengar?.
Diluar sana banyak orang yang tidak bisa berbicara karena tunawicara(bisu). Tetapi ada juga yang tidak bisa berbicara karena tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk berbicara.
Ada juga yang tak bisa mengungkapkan ide secara lisan karena alasan lainnya.
“Diam Karena lidahnya yang kaku, sehingga perkataannya menjadi kurang jelas dan sulit dimengerti. ”
“Diam karena tidak bisa berbicara karena vocalnya yang tidak bisa keras, hingga suaranya mudah tenggelam saat berada di dalam sebuah perdebatan.”
Menyakitkan, adalah Satu hal yang sering dirasakan oleh orang - orang cacad vocal seperti ini. Mereka selalu mendengar tapi tidak pernah didengar.
Banyak orang diluar sana yang tidak pernah lagi ingin mengenal dunia, sehingga hidupnya hanya dihabiskan dengan berdiam diri dirumah, Tidak pernah bersosial, tidak memiliki banyak teman dan sulit untuk cair saat bergaul dengan orang lain.
Jika anda dianugrahi dengan kelebihan berbicara Jelas dan lugas maka sepatutnya anda bersyukur. Karena dengan berbicara anda bisa dengan mudah menyatakan dan mengatakan apa pun ide anda pada orang lain, tanpa harus menunggu kesempatan berbicara, tanpa harus takut suara anda tenggelam di tengah keramaian karena anda memiliki suara vocal yang keras dan mudah di dengar.
Ke empat, Diam bukan berarti tidak melakukan apa apa, diam bukan berarti bahwa seseorang ingin dilupakan dan bukan berarti juga Seseorang ingin tidak dikenal oleh siapa pun selama hidupnya. Mungkin benar jika selama ini gue sangat membenci orang yang terlalu banyak bicara bagi ku Orang yang terlalu banyak bicara hanya senang mendengar apa yang di ucapkan oleh dirinya sendiri. Memang benar tidak semua orang yang senang berbicara, tidak berarti ia tidak pernah menghargai pendapat orang lain. Itulah sebabnya kenapa terkadang guea cuek terhadap orang yang tidak menerima pendapat gue. Toh selama gue nggak pernah dengar, jadi untuk apa dia protes.
Jika anda adalah seorang yang pendiam namun sangat kaya akan ide. Percayalah di Era Sosial media seperti ini orang pendiam tidak lagi menjadi pendengar semata. Jujur saja gue adalah remaja yang sangat pendiam. Semua point yang ada di atas nyaris semuanya gue miliki.
Jika orang orang yang mengatakan bahwa pendiam itu emas, maka jawaban yang mereka punya adalah karena orang Pendiam adalah pemikir yang cerdas dan juga pendengar yang baik. Tetapi jika pendiam adalah sesuatu buruk, bahwadiam adalah ungkapan yang tertahankan Maka itu adalah sesuatu yang salah. Jadi mulai saat ini jadilah orang yang terbuka, dan Janganlah ragu untuk mengungkapkan sesuatu, jika itu demi kebaikan untuk diri kita sendiri .
Tips Membuat Komik dan Alat - Alat yang diperlukan
Agan tau komik kan? itu tuh, obat batuk, gambar menarik yang dilengkapi teks dialog. Itu cuma opini saya saja. Dan mari kita lihat ke Wikipedia. Disini tertera, bahwa Komik adalah suatu bentuk seni yang menggunakan gambar-gambar tidak bergerak yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk jalinan cerita. Gambar2 tersebut dibuat sedemikian menarik sehingga pembaca akan menjadi penasaran tentang kelanjutan ceritanya.
Komik dalam bahasa Jepang disebut "Manga". Dan hal yang masih suka diperdebatkan saat ini adalah "Kartun = Anime"
Kembali ke judul, disini saya mau bagi2 tips cara buat komik sendiri, ya paling nggak komik strip.
1.Tentukan Karakternya
Si Juki, yang katanya anti mainstream |
2.Tentukan Wataknya
Watak, adalah ciri utama dari setiap karakter. Ibarat kata kalau tokoh / karakter nggak ada wataknya, sama aja dengan, "Hidup tanpa cinta, bagai taman tak berbunga". Asolole ! \ :v /
3. Cari Tema nya
Tema, adalah faktor yang menentukan para pembaca. Tema action mayoritas peminatnya laki-laki, sedangkan perempuan biasanya yang bernuansa Romance.
4. Buat Ceritanya
Ya, buatlah cerita sebagai patokan untuk langkah selanjutnya. Buatlah cerita yang mudah dipahami dan menarik pembaca.
5. Tuangkan dalam Gambar
Mulailah menggambar, sesuai cerita yang telah kalian buat tadi. Kalau bisa, sedikit melenceng dari cerita juga nggak masalah.
Satu lagi yang paling penting, yaitu Pembaca.
Alat yang di pakai dalam membuat komik sendiri adalah:
1. PENSIL
Pensil?? pasti kalian sudah tahu apa itu pensil??, jadi gak usah saya jelasin lagi. Pensil berguna untuk membuat sketsa awal untuk komik kamu, entah itu dalam bentuk coret2 gak nggenah, ato gambar2 setengah jadi. sketsa ini berguna sebagai fondasi (gambaran belum utuh dari suatu gambar/cikal bakal gambar) ketika kalian membuat suatu gambar, tapi kalo kalian sudah ahli kalian boleh langsung nggambar gambarnya secara utuh. Pensil juga berguna untuk mengarsir gambar agar terbentuk gradasi dari arsiran yang tua ke arsiran yang lebih muda, ato sebaliknya. setiap pensil memiliki ukuran yang tidak sama dilihat dari kekerasan dan ketebalan pensil tersebut. Pensil yang keras diberi tanda H, sementara pensil yang lunak diberi tanda B. Pensil yang sering saya pake ya pensil ukuran 2B karna murah dan mudah didapatkan.
2. PENGHAPUS
Penghapus sudah pasti digunakan untuk menghapus gambar yang salah dan keliru.
Untuk menghapus gambar sebaiknya dilakukan searah, menurut pengalaman saya menghapus searah akan mengurangi resiko kertas robek, kusut, rusak. Sebaiknya memilih penghapus yang berbahan vinil karena memilik tekstur yang lebih halus dari penghapus biasa(mengurangi resiko kertas rusak). Untuk menghapus tinta gunakan tipe x yang ada kuasnya.
3. DRAWING PEN
DP (Drawing Pen) digunakan untuk menebalkan garis sketsa yang tadi sudah kalian buat, beberapa merek DP yang sering saya gunakan seperti snowman, boxy. DP juga memilik skala ukuran ketebalan, jadi kalian harus memilih dengan jeli ukuran mana yang efisien dan praktis yang akan kalian gunakan.
4. SPIDOL
Spidol digunakan untuk pewarnaan dan juga bisa digunakan untuk menebalkan lis gambar kamu. untuk memudahkan pewarnaan gunakan spidol ukuran besar seperti snowman permanent marker, tapi untuk fokus pad detil gunakan spidol2 ukuran wajar.
5. PENGGARIS
Penggaris dipake untuk membuat garis lurus, digunakan untuk membuat kotak kotak dalam komik agar terlihat rapi, kecuali kalian memang ingin membuat komik yang amburuadul.
6. KERTAS
Media dimana gambar kalian akan dimuat, sebaiknya kalian menggambar di kertas HVS ukuran A4, karna ukurannya yang compact, akan memudahkan kalian jika sewaktu2 ingin men-scan gambar komik kamu.
Sebenarnya masih banyak alat dan bahan yang sering dipake dalam pembuatan komik, berhubung ini untuk pemula, dan melihat dari segi ekonomis, alat dan bahan yang tadi saya ulas sudah cukup untuk membentuk sebuah komik.
Ingat, dalam membuat komik itu tidak mudah, perlu banyak2 latihan menggambar dan pandai memainkan imajinasi.
Alat yang di pakai dalam membuat komik sendiri adalah:
1. PENSIL
Pensil?? pasti kalian sudah tahu apa itu pensil??, jadi gak usah saya jelasin lagi. Pensil berguna untuk membuat sketsa awal untuk komik kamu, entah itu dalam bentuk coret2 gak nggenah, ato gambar2 setengah jadi. sketsa ini berguna sebagai fondasi (gambaran belum utuh dari suatu gambar/cikal bakal gambar) ketika kalian membuat suatu gambar, tapi kalo kalian sudah ahli kalian boleh langsung nggambar gambarnya secara utuh. Pensil juga berguna untuk mengarsir gambar agar terbentuk gradasi dari arsiran yang tua ke arsiran yang lebih muda, ato sebaliknya. setiap pensil memiliki ukuran yang tidak sama dilihat dari kekerasan dan ketebalan pensil tersebut. Pensil yang keras diberi tanda H, sementara pensil yang lunak diberi tanda B. Pensil yang sering saya pake ya pensil ukuran 2B karna murah dan mudah didapatkan.
2. PENGHAPUS
Penghapus sudah pasti digunakan untuk menghapus gambar yang salah dan keliru.
Untuk menghapus gambar sebaiknya dilakukan searah, menurut pengalaman saya menghapus searah akan mengurangi resiko kertas robek, kusut, rusak. Sebaiknya memilih penghapus yang berbahan vinil karena memilik tekstur yang lebih halus dari penghapus biasa(mengurangi resiko kertas rusak). Untuk menghapus tinta gunakan tipe x yang ada kuasnya.
3. DRAWING PEN
DP (Drawing Pen) digunakan untuk menebalkan garis sketsa yang tadi sudah kalian buat, beberapa merek DP yang sering saya gunakan seperti snowman, boxy. DP juga memilik skala ukuran ketebalan, jadi kalian harus memilih dengan jeli ukuran mana yang efisien dan praktis yang akan kalian gunakan.
4. SPIDOL
Spidol digunakan untuk pewarnaan dan juga bisa digunakan untuk menebalkan lis gambar kamu. untuk memudahkan pewarnaan gunakan spidol ukuran besar seperti snowman permanent marker, tapi untuk fokus pad detil gunakan spidol2 ukuran wajar.
5. PENGGARIS
Penggaris dipake untuk membuat garis lurus, digunakan untuk membuat kotak kotak dalam komik agar terlihat rapi, kecuali kalian memang ingin membuat komik yang amburuadul.
6. KERTAS
Media dimana gambar kalian akan dimuat, sebaiknya kalian menggambar di kertas HVS ukuran A4, karna ukurannya yang compact, akan memudahkan kalian jika sewaktu2 ingin men-scan gambar komik kamu.
Sebenarnya masih banyak alat dan bahan yang sering dipake dalam pembuatan komik, berhubung ini untuk pemula, dan melihat dari segi ekonomis, alat dan bahan yang tadi saya ulas sudah cukup untuk membentuk sebuah komik.
Ingat, dalam membuat komik itu tidak mudah, perlu banyak2 latihan menggambar dan pandai memainkan imajinasi.
Bukan Panglima dari Segala Burung Rajawali
Pada 31 Oktober 1948, di sebuah Minggu yang terik, sebuah tragedi mengenaskan terjadi. Musso, Sekertaris Jenderal PKI, ditembak mati di sebuah kamar mandi. Mayatnya lantas dibawa ke Ponorogo. Di sana, mayat yang disimbahi darah dan luka itu dipertontonkan. Dan…. dibakar!
Tragis sekali. Padahal, 2,5 bulan sebelumnya, tepatnya pada 13 Agustus 1948, Musso yang baru kembali ke Indonesia setelah 13 tahun lamanya hidup di Sovyet, berjumpa dengan Presiden Soekarno dalam suasana hangat dan akrab. Seorang wartawan yang menyaksikan perjumpaan keduanya memberi testimoni: “Bung Karno memeluk Musso dan Musso memeluk Soekarno. Mata berlinang. Kegembiraan ketika itu rupanya tidak dapat mereka keluarkan dengan kata-kata.”
Kala itu, Soekarno memuji Musso sebagai “jago pencak yang suka berkelahi, …yang kalau berpidato akan nyincing lengan bajunya”. Sebelum berpisah, seusai menyerahkan buku Sarinah sebagai kenang-kenangan, Soekarno berharap agar Musso sudi membantunya melancarkan revolusi nasional yang lajunya masih terpatah-patah. Mendengar permintaan itu, Musso membalas dengan jawaban singkat, lugas dan sungguh menggetarkan: “Itu memang kewajiban saya. Ik kom hier om orde te scheppen (Saya kemari untuk membereskannya).”
Sejarah ternyata tidak terhampar seperti yang dikehendaki aktor-aktornya. 2,5 bulan berselang, Soekarno dan Musso malah saling memunggungi, saling memaki. Ujung dari semua lakon itu sungguh pahit bagi Musso: ia menjadi “korban” kecamuk revolusi yang ia pernah sesumbar hendak membereskannya. Ternyata, Musso sendiri yang “dibereskan” oleh revolusi.
Sewaktu merefleksikan tragika Kudeta Madiun yang memakan banyak korban, termasuk Musso dan Amir Syarifuddin, Jenderal Simatupang dalam memoirnya Laporan dari Banaran, menulis: “Saya yakin bahwa do’a yang terakhir dari anak-anak itu (prajurit dan pemuda yang terlibat dalam Madiun Affair) semua adalah untuk kebahagian dan kebesaran tanah air yang satu juga.”
Saya jadi ingat Aristoteles. Nilai manusia, sebutnya, “bukanlah ditentukan oleh kehancuran hidup dan cita-citanya tetapi oleh perjuangannya mempertahankan harkat kemanusiaannya.” Itu pula yang jadi soal kenapa biografi Musso, dan semua yang ditelan dan dikalahkan proses sejarah secara kejam, menjadi menarik dan justru berharga untuk dipelajari.
Risalah Jalan Baru: Sebuah Jalan Terjal
Setelah 13 tahun hidup di Sovyet, Musso datang ke Indonesia persis ketika kelompok Sayap Kiri (PKI, Partai Buruh Indonesia dan Partai Sosialis) yang tergabung dalam FDR (Front Demokratik Rakyat) sedang dilanda krisis akibat Amir Syarifuddin meletakkan jabatan PM (Perdana Menteri).
Dalam situasi krisis itu, kedatangan Musso diharapkan bisa membangkitkan kembali Sayap Kiri/FDR dari krisis internal yang semakin akut. Dan dengan segera, tidak sampai seputaran siklus hujan-kemarau, Musso berhasil mengendalikan Sayap Kiri. Berkat reputasinya sebagai “alumni” pemberontakan PKI 1926 yang telah berjasa membangkitkan PKI dari “liang lahat sejarah” lewat aktivitas bawah tanahnya pada 1935, Musso sontak tampil di depan panggung dengan sungguh superior. Peran yang dilakoninya tak ubahnya seperti “Peniup seruling dalam cerita Grimms dan tokoh-tokoh lain (termasuk Amir Syarifuddin) mengikutinya sebagai anak-anak yang patuh”.
Dua minggu setelah kedatangannya, tepatnya pada 26-27 Agustus, Musso menghadiri Konfrensi PKI di Yogya. Di situ Musso mengajukan sebuah risalah yang kelak terkenal sebagai Jalan Baru Musso; Risalah ini tak bisa dilewati begitu saja oleh siapapun yang hendak mempelajari Indonesia pada masa-masa itu.
Di risalahnya itu, kegagalan gerakan buruh dianggap Musso sebagai akibat orang-orang komunis yang bergerak di bawah tanah tidak mendirikan sebuah partai komunis tunggal begitu proklamasi dikumandangkan, malah mendirikan Partai Sosialis, Partai Buruh dan PKI sendiri.
Selanjutnya, demikian Musso, tiga partai Marxis yang tergabung dalam kelompok Sayap Kiri terpaksa memasuki jalur politik reformis dan kompromis. Penandatanganan Perjanjian Renville yang dilakukan pemerintahan Sayap Kiri pimpinan Amir Syarifuddin membawa Indonesia ke tubir jurang kolonialisme jilid II.
Semua keruwetan itu berujung pada blunder mundurnya Amir Syarifuddin dari kursi PM. Seperti yang pernah digariskan Lenin, Musso menganggap menyerahkan begitu saja kekuasaan kepada kelompok reformis dan kompromis sebagai hal yang tak bisa ditolerir. Ini kian memperlemah posisi kelompok Sayap Kiri yang saat itu tergabung dalam wadah Front Demokratik Rakyat (FDR).
Untuk menuntaskanya, Musso menawarkan dua ide. Pertama, secepatnya mendirikan sebuah partai tunggal dengan nama Partai Komunis Indonesia (PKI) yang membawahi semua gerakan buruh. Semua anggota Partai Sosialis dan Partai Buruh harus secepatnya mendaftar menjadi anggota PKI.
Ide Musso tentang partai tunggal dengan nama PKI langsung terealisir dalam tempo yang sungguh singkat. Seperti dipaparkan George M.T. Kahin (1995: 349), tak sampai tiga hari, Partai Buruh Indonesia dan Partai Sosialis menyatakan bergabung (fusi) dengan PKI. Pada 1 September, komposisi kepengurusan PKI hasil fusi langsung terbentuk. Musso terpilih sebagai Sekertaris Jenderal PKI, sedang Amir Syarifuddin menjadi Sekretariat Pertahanan.
Jalan Baru tampaknya sudah on the track. Salah satu pokok terpenting Jalan Baru telah terealisir. Selanjutnya, tinggal memikirkan bagaimana cara membentuk Front Nasional yang mewadahi kekuatan-kekuatan utama di Indonesia yaitu PNI dan Masyumi.
Seperti yang akan kita lihat sebentar lagi, semua rencana itu ternyata membentur tembok. Gagal total. Musso akhirnya harus mengakui, dirinya ternyata belum sepenuhnya memahami peta politik Indonesia dan psiko-sosial rakyat Indonesia.
Di Ujung Integritas
Ide Musso selanjutnya adalah Front Nasional. Musso berkeyakinan, untuk menuntaskan revolusi, kelompok Sayap Kiri dan gerakan buruh tak bisa melakukannya sendirian, melainkan harus bekerjasama dengan partai dan organisasi lain yang progresif dan anti-imperialisme. Musso menyarankan agar PKI memimpin upaya pembentukan Front Nasional dengan cara meyakinkan partai-partai lain akan arti penting Front Nasional.
Ide Front Nasional ternyata mati prematur. Pada 10 September, Masyumi menolak ajakan PKI untuk mendirikan Front Nasional. Enam hari kemudian, PNI juga menampik ajakan PKI.
Kendati PNI dan Masyumi pernah melakukan oposisi kepada pemerintah (Syahrir), oposisi yang dilakukan keduanya berbeda jauh dengan konfrontasi. Dalam kamus Komunisme Sovyet, di mana Musso belasan tahun hidup di sana, oposisi memang persis dengan konfrontasi. Tapi Indonesia dan Sovyet tidak identik. Di sini, Musso gagal memetakan medan. Dan ini bukan kegagalannya yang terakhir.
Mengetahui ide Front Nasional tak bisa lagi diharapkan, Musso akhirnya memfokuskan diri untuk mengobarkan semangat massa lewat jargon-jargon komunis. Musso melakukan turne dengan menemui langsung massa lewat vergadering-vergadering (rapat umum) di daerah yang dianggap menjadi kantong gerakan Kiri: Surakarta, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu dan terakhir di Purwodadi.
Ternyata, Purwodadi menjadi tempat terakhir Musso melakukan vergadering. Hari itu juga, Musso dan segenap petinggi PKI menyadari bahwa prakarsa untuk melakukan revolusi telah terlepas dari tangan mereka. Ketika 18 September mereka tiba di Madiun, Musso dan elit PKI lainnya menemukan kenyataan bahwa organissi PKI setempat, dengan dipimpin unsur Pesindo (organ pemuda Partai Sosialis) dan Divisi IV TNI yang pro PKI, telah mela
ncarkan kudeta bersenjata dan merebut kekuasaan di Madiun. Musso dihadapkan pada fait accompli: dia ternyata tak sepenuhnya bisa mengendalikan keadaan.
Menghadapi kenyataan demikian, tak ada jalan lain bagi Musso selain menyatakan dukungannya pada Kudeta Madiun. Situasi ternyata menjadi kian sulit karena kali ini, pemerintah tak mau lagi berkompromi. Di corong radio, pada malam 19 September, Soekarno berpidato dan menuduh Musso telah mendirikan pemerintahan Sovyet. Soekarno lantas mengajukan dua pilihan: “Ikut Musso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia Merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta yang…. akan memimpin RI yang merdeka, tidak dijajah oleh negara apa pun.”
Musso tak kalah gertak. Di hari yang sama, juga di corong radio, ia mencaci Soekarno-Hatta sebagai “pengkhianat jahanam” dan “pedagang romusha”. Dangan lantang dan Musso berpidato: “Kami yakin rakyat akan berkata: Musso selalu mengabdi rakyat Indonesia.”
Siapapun yang pernah membaca naskah pidato Musso itu akan menangkap kesan betapa ia sungguh percaya diri. Tak ada kesan gentar, apalagi takut. Artikulasinya mantap. Tanpa metafor. Dan ofensif. Lewat pidatonya itu, Musso seakan hendak menunjukkan “kelasnya” sebagai seorang kawakan di medan revolusi.
Saya membayangkan, ketika berkoar di depan corong radio itu, Musso seakan sedang memfersonifikasi dirinya sebagai, pinjam sekuplet sajaknya Asrul Sani, “…panglima dari segala burung rajawali. Aku tutup segala kota, aku sebar segala api, Aku jadikan belantara jadi hutan mati.”
Tetapi, menjelang 20 September, Musso akhirnya menyadari dirinya bukanlah “panglima dari segala burung rajawali”. Pengaruhnya ternyata sama sekali tak ada apa-apanya dibanding pengaruh Soekarno-Hatta.
Dalam artikelnya yang dimuat keesokan harinya (21 September), tampak ada getar kekhawatiran. Nadanya ganti bercorak defensif. Musso berusaha keras mencari simpati rakyat dengan berkali-kali menyatakan bahwa kudeta Madiun bukan untuk mendirikan pemerintahan Sovyet. Padahal, pada pidato sehari sebelumnya di corong radio, Musso sama sekali tak menolak tuduhan Soekarno ihwal pembentukan pemerintahan Sovyet. Anehnya lagi, di artikel yang sama, Musso justru mengatakan jika kudeta Madiun berhasil, barulah akan didirikan pemerintahan Sovyet.
Paradoks. Musso berusaha mengendalikan keadaan, tetapi jelas dirinya sama sekali tak memiliki kendali atas situasi. Ia berada di persimpangan. Integritas dia sebagai seorang Stalinis garis keras yang tanpa kompromi benar-benar diuji. Hasilnya, gambaran sosok Musso sebagai seorang yang keras, pemberani, dan konsisten luruh perlahan, ketika ia menampilkan sikap dan pernyataan yang penuh kontradiksi.
Seruan Musso dan pemimpin PKI lain (termasuk Amir) yang telah diperlunak juga gagal melahirkan dukungan massa. Keyakinan Musso ihwal kekuatan Sovyet di Asia yang akan mendukung setiap gerakan anti-imperilisme ternyata jauh panggang dari api. Tak ada dukungan dari Sovyet yang datang. Pelan tapi pasti, pasukan pemerintah berhasil memulihkan keadaan. Pada 30 September 1948, Madiun akhirnya jatuh ke tangan pemerintah.
“Dibakar Percikan Api”
Mempelajari riwayat Musso, juga tokoh-tokoh utama Indonesia lainnya di masa-masa awal kemerdekaan, kita akan mafhum betapa sungguh sukar dan tak mudah menjadi pemimpin pada masa-masa transisi yang penuh kecamuk. Terlampau banyak aral dan tantangan yang membentang di hadapan. Dalam setiap kesempatan, mereka harus berpikir dan bertindak cepat tetapi tetap tidak boleh gegabah dan serampangan.
Terkadang mereka harus mengkompromikan visi dan garis ideologi yang dihayatinya dengan kenyataan di lapangan yang seringkali pahit dan menyesakkan. Termasuk jika harus saling berhadapan dengan orang yang dihormati, orang yang dulunya barangkali adalah sahabat dekat. Seperti ketika Soekarno berhadapan dengan Kartosuwiryo dan Musso yang pernah bersamanya sewaktu mondok di kediaman Cokroaminoto.
Dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (1997: 273), Soe Hok Gie menuliskan refleksinya atas peristiwa berdarah Kudeta Madiun: “Radikalisme ini seperti perlombaan mobil di lereng gunung yang makin lama makin menyempit. Pastilah suatu hari roda-roda yang berputar ini akan saling bersinggungan dan dari percikan api ini semuanya akan dibakar.”
Musso jelas merasakan dan mengalami semua dilema-dilema itu. Dan seperti yang telah kita lihat, Musso pada akhirnya berada di pihak yang “kalah”, dan benar-benar (dalam kata-kata Hok Gie) “dibakar oleh percikan api akibat gesekan roda radikalisme”.
Dengan perasaan tak menentu, Musso menyaksikan rencana dan program-programnya tanggal satu persatu. Perasaan tak menentu itu juga yang kiranya berkecamuk di benak Musso ketika pada 31 Oktober ia berjalan sendiri tanpa pengawal. Di hari Minggu yang mengenaskan itu, ia menemukan sebuah mobil yang ditumpangi pasukan TNI dan berniat menggunakannya. Ia berhasil melumpuhkan prajurit TNI yang berjaga di mobil sasaran.
Sial, mobil itu ternyata tak bisa distater. Prajurit TNI malah berhasil menguasai keadaan dan balik menodong Musso. Tapi Musso tak bergeming. Dengan keberanian yang penuh, Musso berteriak lantang: “Engkau tahu siapa saya? Saya Musso. Engkau baru kemarin jadi prajurit dan berani meminta saya menyerah pada engkau. Lebih baik mati daripada menyerah, walau bagaimana saya tetap merah putih.”
Prajurit TNI itu kalah wibawa dan malah melarikan diri ke desa terdekat. Tapi pasukan TNI pimpinan Kapt. Sumadi keburu datang. Musso lantas bersembunyi di sebuah kamar mandi. Ia menolak menyerah. Baku tembak tak terhindarkan. Akhirnya Musso tertembak mati. Mayatnya di bawa ke Ponorogo, dipertontonkan dan kemudian dibakar.
Kita tidak akan tahu apa yang ada di kepala Musso saat itu. Bisa jadi, yang dilakukan Musso di detik-detik terakhir hidupnya tadi adalah sebuah upaya untuk menjaga sisa-sisa integritasnya dengan kukuh (mungkin keras kepala). Ketika Musso mengumumkan bahwa Kudeta Madiun bukan untuk mendirikan negara model Sovyet, Musso sadar bahwa dirinya sedang berkompromi dengan kenyataan. Pendek kata, itu cuma sekadar taktik.
Tapi ketika taktik itu tak berbuah bagus, Musso menyadari dirinya telah kehilangan dua hal sekaligus: karir politik dan integritas sebagai seorang Stalinis garis keras. Maka, ketika Musso menampik untuk menyerah di kamar mandi yang telah terkepung, hal itu bisa dimengerti sebagai upaya terakhir untuk menyelamatkan sisa integritas yang sebelumnya telah memiuh entah ke mana.
Kita tahu, upaya terakhir itu membawanya pada sebuah kematian yang tragis dan mengenaskan. Tapi bagi Musso, aktivis yang bolak-balik menelan kepahitan dan kegagalan, upaya itu pasti bukanlah kesia-siaan.
Tragis sekali. Padahal, 2,5 bulan sebelumnya, tepatnya pada 13 Agustus 1948, Musso yang baru kembali ke Indonesia setelah 13 tahun lamanya hidup di Sovyet, berjumpa dengan Presiden Soekarno dalam suasana hangat dan akrab. Seorang wartawan yang menyaksikan perjumpaan keduanya memberi testimoni: “Bung Karno memeluk Musso dan Musso memeluk Soekarno. Mata berlinang. Kegembiraan ketika itu rupanya tidak dapat mereka keluarkan dengan kata-kata.”
Kala itu, Soekarno memuji Musso sebagai “jago pencak yang suka berkelahi, …yang kalau berpidato akan nyincing lengan bajunya”. Sebelum berpisah, seusai menyerahkan buku Sarinah sebagai kenang-kenangan, Soekarno berharap agar Musso sudi membantunya melancarkan revolusi nasional yang lajunya masih terpatah-patah. Mendengar permintaan itu, Musso membalas dengan jawaban singkat, lugas dan sungguh menggetarkan: “Itu memang kewajiban saya. Ik kom hier om orde te scheppen (Saya kemari untuk membereskannya).”
Sejarah ternyata tidak terhampar seperti yang dikehendaki aktor-aktornya. 2,5 bulan berselang, Soekarno dan Musso malah saling memunggungi, saling memaki. Ujung dari semua lakon itu sungguh pahit bagi Musso: ia menjadi “korban” kecamuk revolusi yang ia pernah sesumbar hendak membereskannya. Ternyata, Musso sendiri yang “dibereskan” oleh revolusi.
Sewaktu merefleksikan tragika Kudeta Madiun yang memakan banyak korban, termasuk Musso dan Amir Syarifuddin, Jenderal Simatupang dalam memoirnya Laporan dari Banaran, menulis: “Saya yakin bahwa do’a yang terakhir dari anak-anak itu (prajurit dan pemuda yang terlibat dalam Madiun Affair) semua adalah untuk kebahagian dan kebesaran tanah air yang satu juga.”
Saya jadi ingat Aristoteles. Nilai manusia, sebutnya, “bukanlah ditentukan oleh kehancuran hidup dan cita-citanya tetapi oleh perjuangannya mempertahankan harkat kemanusiaannya.” Itu pula yang jadi soal kenapa biografi Musso, dan semua yang ditelan dan dikalahkan proses sejarah secara kejam, menjadi menarik dan justru berharga untuk dipelajari.
Risalah Jalan Baru: Sebuah Jalan Terjal
Setelah 13 tahun hidup di Sovyet, Musso datang ke Indonesia persis ketika kelompok Sayap Kiri (PKI, Partai Buruh Indonesia dan Partai Sosialis) yang tergabung dalam FDR (Front Demokratik Rakyat) sedang dilanda krisis akibat Amir Syarifuddin meletakkan jabatan PM (Perdana Menteri).
Dalam situasi krisis itu, kedatangan Musso diharapkan bisa membangkitkan kembali Sayap Kiri/FDR dari krisis internal yang semakin akut. Dan dengan segera, tidak sampai seputaran siklus hujan-kemarau, Musso berhasil mengendalikan Sayap Kiri. Berkat reputasinya sebagai “alumni” pemberontakan PKI 1926 yang telah berjasa membangkitkan PKI dari “liang lahat sejarah” lewat aktivitas bawah tanahnya pada 1935, Musso sontak tampil di depan panggung dengan sungguh superior. Peran yang dilakoninya tak ubahnya seperti “Peniup seruling dalam cerita Grimms dan tokoh-tokoh lain (termasuk Amir Syarifuddin) mengikutinya sebagai anak-anak yang patuh”.
Dua minggu setelah kedatangannya, tepatnya pada 26-27 Agustus, Musso menghadiri Konfrensi PKI di Yogya. Di situ Musso mengajukan sebuah risalah yang kelak terkenal sebagai Jalan Baru Musso; Risalah ini tak bisa dilewati begitu saja oleh siapapun yang hendak mempelajari Indonesia pada masa-masa itu.
Di risalahnya itu, kegagalan gerakan buruh dianggap Musso sebagai akibat orang-orang komunis yang bergerak di bawah tanah tidak mendirikan sebuah partai komunis tunggal begitu proklamasi dikumandangkan, malah mendirikan Partai Sosialis, Partai Buruh dan PKI sendiri.
Selanjutnya, demikian Musso, tiga partai Marxis yang tergabung dalam kelompok Sayap Kiri terpaksa memasuki jalur politik reformis dan kompromis. Penandatanganan Perjanjian Renville yang dilakukan pemerintahan Sayap Kiri pimpinan Amir Syarifuddin membawa Indonesia ke tubir jurang kolonialisme jilid II.
Semua keruwetan itu berujung pada blunder mundurnya Amir Syarifuddin dari kursi PM. Seperti yang pernah digariskan Lenin, Musso menganggap menyerahkan begitu saja kekuasaan kepada kelompok reformis dan kompromis sebagai hal yang tak bisa ditolerir. Ini kian memperlemah posisi kelompok Sayap Kiri yang saat itu tergabung dalam wadah Front Demokratik Rakyat (FDR).
Untuk menuntaskanya, Musso menawarkan dua ide. Pertama, secepatnya mendirikan sebuah partai tunggal dengan nama Partai Komunis Indonesia (PKI) yang membawahi semua gerakan buruh. Semua anggota Partai Sosialis dan Partai Buruh harus secepatnya mendaftar menjadi anggota PKI.
Ide Musso tentang partai tunggal dengan nama PKI langsung terealisir dalam tempo yang sungguh singkat. Seperti dipaparkan George M.T. Kahin (1995: 349), tak sampai tiga hari, Partai Buruh Indonesia dan Partai Sosialis menyatakan bergabung (fusi) dengan PKI. Pada 1 September, komposisi kepengurusan PKI hasil fusi langsung terbentuk. Musso terpilih sebagai Sekertaris Jenderal PKI, sedang Amir Syarifuddin menjadi Sekretariat Pertahanan.
Jalan Baru tampaknya sudah on the track. Salah satu pokok terpenting Jalan Baru telah terealisir. Selanjutnya, tinggal memikirkan bagaimana cara membentuk Front Nasional yang mewadahi kekuatan-kekuatan utama di Indonesia yaitu PNI dan Masyumi.
Seperti yang akan kita lihat sebentar lagi, semua rencana itu ternyata membentur tembok. Gagal total. Musso akhirnya harus mengakui, dirinya ternyata belum sepenuhnya memahami peta politik Indonesia dan psiko-sosial rakyat Indonesia.
Di Ujung Integritas
Ide Musso selanjutnya adalah Front Nasional. Musso berkeyakinan, untuk menuntaskan revolusi, kelompok Sayap Kiri dan gerakan buruh tak bisa melakukannya sendirian, melainkan harus bekerjasama dengan partai dan organisasi lain yang progresif dan anti-imperialisme. Musso menyarankan agar PKI memimpin upaya pembentukan Front Nasional dengan cara meyakinkan partai-partai lain akan arti penting Front Nasional.
Ide Front Nasional ternyata mati prematur. Pada 10 September, Masyumi menolak ajakan PKI untuk mendirikan Front Nasional. Enam hari kemudian, PNI juga menampik ajakan PKI.
Kendati PNI dan Masyumi pernah melakukan oposisi kepada pemerintah (Syahrir), oposisi yang dilakukan keduanya berbeda jauh dengan konfrontasi. Dalam kamus Komunisme Sovyet, di mana Musso belasan tahun hidup di sana, oposisi memang persis dengan konfrontasi. Tapi Indonesia dan Sovyet tidak identik. Di sini, Musso gagal memetakan medan. Dan ini bukan kegagalannya yang terakhir.
Mengetahui ide Front Nasional tak bisa lagi diharapkan, Musso akhirnya memfokuskan diri untuk mengobarkan semangat massa lewat jargon-jargon komunis. Musso melakukan turne dengan menemui langsung massa lewat vergadering-vergadering (rapat umum) di daerah yang dianggap menjadi kantong gerakan Kiri: Surakarta, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu dan terakhir di Purwodadi.
Ternyata, Purwodadi menjadi tempat terakhir Musso melakukan vergadering. Hari itu juga, Musso dan segenap petinggi PKI menyadari bahwa prakarsa untuk melakukan revolusi telah terlepas dari tangan mereka. Ketika 18 September mereka tiba di Madiun, Musso dan elit PKI lainnya menemukan kenyataan bahwa organissi PKI setempat, dengan dipimpin unsur Pesindo (organ pemuda Partai Sosialis) dan Divisi IV TNI yang pro PKI, telah mela
ncarkan kudeta bersenjata dan merebut kekuasaan di Madiun. Musso dihadapkan pada fait accompli: dia ternyata tak sepenuhnya bisa mengendalikan keadaan.
Menghadapi kenyataan demikian, tak ada jalan lain bagi Musso selain menyatakan dukungannya pada Kudeta Madiun. Situasi ternyata menjadi kian sulit karena kali ini, pemerintah tak mau lagi berkompromi. Di corong radio, pada malam 19 September, Soekarno berpidato dan menuduh Musso telah mendirikan pemerintahan Sovyet. Soekarno lantas mengajukan dua pilihan: “Ikut Musso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia Merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta yang…. akan memimpin RI yang merdeka, tidak dijajah oleh negara apa pun.”
Musso tak kalah gertak. Di hari yang sama, juga di corong radio, ia mencaci Soekarno-Hatta sebagai “pengkhianat jahanam” dan “pedagang romusha”. Dangan lantang dan Musso berpidato: “Kami yakin rakyat akan berkata: Musso selalu mengabdi rakyat Indonesia.”
Siapapun yang pernah membaca naskah pidato Musso itu akan menangkap kesan betapa ia sungguh percaya diri. Tak ada kesan gentar, apalagi takut. Artikulasinya mantap. Tanpa metafor. Dan ofensif. Lewat pidatonya itu, Musso seakan hendak menunjukkan “kelasnya” sebagai seorang kawakan di medan revolusi.
Saya membayangkan, ketika berkoar di depan corong radio itu, Musso seakan sedang memfersonifikasi dirinya sebagai, pinjam sekuplet sajaknya Asrul Sani, “…panglima dari segala burung rajawali. Aku tutup segala kota, aku sebar segala api, Aku jadikan belantara jadi hutan mati.”
Tetapi, menjelang 20 September, Musso akhirnya menyadari dirinya bukanlah “panglima dari segala burung rajawali”. Pengaruhnya ternyata sama sekali tak ada apa-apanya dibanding pengaruh Soekarno-Hatta.
Dalam artikelnya yang dimuat keesokan harinya (21 September), tampak ada getar kekhawatiran. Nadanya ganti bercorak defensif. Musso berusaha keras mencari simpati rakyat dengan berkali-kali menyatakan bahwa kudeta Madiun bukan untuk mendirikan pemerintahan Sovyet. Padahal, pada pidato sehari sebelumnya di corong radio, Musso sama sekali tak menolak tuduhan Soekarno ihwal pembentukan pemerintahan Sovyet. Anehnya lagi, di artikel yang sama, Musso justru mengatakan jika kudeta Madiun berhasil, barulah akan didirikan pemerintahan Sovyet.
Paradoks. Musso berusaha mengendalikan keadaan, tetapi jelas dirinya sama sekali tak memiliki kendali atas situasi. Ia berada di persimpangan. Integritas dia sebagai seorang Stalinis garis keras yang tanpa kompromi benar-benar diuji. Hasilnya, gambaran sosok Musso sebagai seorang yang keras, pemberani, dan konsisten luruh perlahan, ketika ia menampilkan sikap dan pernyataan yang penuh kontradiksi.
Seruan Musso dan pemimpin PKI lain (termasuk Amir) yang telah diperlunak juga gagal melahirkan dukungan massa. Keyakinan Musso ihwal kekuatan Sovyet di Asia yang akan mendukung setiap gerakan anti-imperilisme ternyata jauh panggang dari api. Tak ada dukungan dari Sovyet yang datang. Pelan tapi pasti, pasukan pemerintah berhasil memulihkan keadaan. Pada 30 September 1948, Madiun akhirnya jatuh ke tangan pemerintah.
“Dibakar Percikan Api”
Mempelajari riwayat Musso, juga tokoh-tokoh utama Indonesia lainnya di masa-masa awal kemerdekaan, kita akan mafhum betapa sungguh sukar dan tak mudah menjadi pemimpin pada masa-masa transisi yang penuh kecamuk. Terlampau banyak aral dan tantangan yang membentang di hadapan. Dalam setiap kesempatan, mereka harus berpikir dan bertindak cepat tetapi tetap tidak boleh gegabah dan serampangan.
Terkadang mereka harus mengkompromikan visi dan garis ideologi yang dihayatinya dengan kenyataan di lapangan yang seringkali pahit dan menyesakkan. Termasuk jika harus saling berhadapan dengan orang yang dihormati, orang yang dulunya barangkali adalah sahabat dekat. Seperti ketika Soekarno berhadapan dengan Kartosuwiryo dan Musso yang pernah bersamanya sewaktu mondok di kediaman Cokroaminoto.
Dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (1997: 273), Soe Hok Gie menuliskan refleksinya atas peristiwa berdarah Kudeta Madiun: “Radikalisme ini seperti perlombaan mobil di lereng gunung yang makin lama makin menyempit. Pastilah suatu hari roda-roda yang berputar ini akan saling bersinggungan dan dari percikan api ini semuanya akan dibakar.”
Musso jelas merasakan dan mengalami semua dilema-dilema itu. Dan seperti yang telah kita lihat, Musso pada akhirnya berada di pihak yang “kalah”, dan benar-benar (dalam kata-kata Hok Gie) “dibakar oleh percikan api akibat gesekan roda radikalisme”.
Dengan perasaan tak menentu, Musso menyaksikan rencana dan program-programnya tanggal satu persatu. Perasaan tak menentu itu juga yang kiranya berkecamuk di benak Musso ketika pada 31 Oktober ia berjalan sendiri tanpa pengawal. Di hari Minggu yang mengenaskan itu, ia menemukan sebuah mobil yang ditumpangi pasukan TNI dan berniat menggunakannya. Ia berhasil melumpuhkan prajurit TNI yang berjaga di mobil sasaran.
Sial, mobil itu ternyata tak bisa distater. Prajurit TNI malah berhasil menguasai keadaan dan balik menodong Musso. Tapi Musso tak bergeming. Dengan keberanian yang penuh, Musso berteriak lantang: “Engkau tahu siapa saya? Saya Musso. Engkau baru kemarin jadi prajurit dan berani meminta saya menyerah pada engkau. Lebih baik mati daripada menyerah, walau bagaimana saya tetap merah putih.”
Prajurit TNI itu kalah wibawa dan malah melarikan diri ke desa terdekat. Tapi pasukan TNI pimpinan Kapt. Sumadi keburu datang. Musso lantas bersembunyi di sebuah kamar mandi. Ia menolak menyerah. Baku tembak tak terhindarkan. Akhirnya Musso tertembak mati. Mayatnya di bawa ke Ponorogo, dipertontonkan dan kemudian dibakar.
Kita tidak akan tahu apa yang ada di kepala Musso saat itu. Bisa jadi, yang dilakukan Musso di detik-detik terakhir hidupnya tadi adalah sebuah upaya untuk menjaga sisa-sisa integritasnya dengan kukuh (mungkin keras kepala). Ketika Musso mengumumkan bahwa Kudeta Madiun bukan untuk mendirikan negara model Sovyet, Musso sadar bahwa dirinya sedang berkompromi dengan kenyataan. Pendek kata, itu cuma sekadar taktik.
Tapi ketika taktik itu tak berbuah bagus, Musso menyadari dirinya telah kehilangan dua hal sekaligus: karir politik dan integritas sebagai seorang Stalinis garis keras. Maka, ketika Musso menampik untuk menyerah di kamar mandi yang telah terkepung, hal itu bisa dimengerti sebagai upaya terakhir untuk menyelamatkan sisa integritas yang sebelumnya telah memiuh entah ke mana.
Kita tahu, upaya terakhir itu membawanya pada sebuah kematian yang tragis dan mengenaskan. Tapi bagi Musso, aktivis yang bolak-balik menelan kepahitan dan kegagalan, upaya itu pasti bukanlah kesia-siaan.